XiXi (2024): Dancing Beyond Norms to the Heartbeats of Womanhood

What dances in your mind when you hear the word womanhood? It might be the joy of dressing up with friends, the shared laughter, or the delight of expressing ourselves through creativity. Perhaps it is the art of makeup, the rituals of skincare, or any number of things that define us. Because a woman can embrace her identity in countless ways, each just as valid and beautiful as the next, yet, there are times when womanhood reveals itself in quieter moments, subtle yet powerful. XiXi (Fan Wu, 2024) captures this softer side, offering an intimate reflection on freedom, self-discovery, and the courage to step away from the expected.

City of Poets (2024): Tempat yang Pernah Penuh Puisi dan Ketenangan

Imagine all the people, living life in peace… (Bayangkan semua orang hidup dalam kedamaian, ed) Lirik dari John Lennon ini melayang di benak ketika menyaksikan City of Poets (Sara Rajaei, 2024). Lennon memimpikan dunia tanpa perang, tanpa keserakahan. Celakanya, dokumenter ini mengajak kita masuk ke dunia yang berlawanan. Di sana, puisi yang dulunya menjadi fondasi kota, perlahan terkubur oleh perang dan kekerasan.

Echo of You (2023): Duka dalam Cinta, Cinta dalam Duka

Echo of You (Zara Zerny, 2023) mengajak kita untuk ikut serta dalam sebuah perjalanan. Bukan perjalanan menuju destinasi indah yang tercatat dalam bucket list, melainkan menuju relung terdalam jiwa-jiwa pria dan wanita Denmark berusia 80 tahun ke atas yang dengan berani membuka lembaran kisah cinta mereka yang telah berakhir. Kita diajak menjawab pertanyaan yang sering dihindari: bagaimana melanjutkan hidup setelah kehilangan?

After the Snowmelt (2024): 47 Hari Bertahan di Balik Balutan Salju, Kisah Apa yang Tersisa?

Bagaimana kita meninggalkan jejak untuk tetap ada setelah kita pergi? Bagaimana kisah-kisah yang pernah kita alami terus bergema, bahkan ketika kita sendiri sudah tidak lagi menjadi bagiannya? After the Snowmelt (Yi-Shan Lo, 2024) membawa kita menyelami kenangan yang membeku dalam balutan salju melalui perjalanan hidup dua sahabat terdekat sang sutradara, Chun dan Yueh, yang terperangkap di dalam gua di Nepal selama 47 hari. Di tengah tragedi ini, Yueh sebagai satu-satunya penyintas membawa tanggung jawab untuk mengungkapkan kisah yang belum usai.

A Tale for My Daughter (2024): Surat Dari Ibu Bumi

Mari kita buka tulisan ini dengan merenungi film Siti (Eddie Cahyono, 2014), yang mengajak kita pada renungan mendalam tentang relasi manusia dengan alam. Di sana, terucap sebuah kalimat: “Laut sing ngehi pangan, laut uga sing njupuk pangan.” (Laut yang memberi pangan, laut juga yang mengambil pangan). Kalimat ini terasa seperti pengingat halus bahwa alam memang memberi kita kehidupan, tetapi juga bisa mengambilnya kapan saja. Alam tak hanya memberi, tetapi juga mengharapkan keseimbangan.

Kuasa, Suara, dan Nestapa

Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu menjumpai ketimpangan sebagai realita. Tak perlu jauh-jauh: di jalanan, di institusi pendidikan, bahkan di rumah sekalipun, ketimpangan berkelindan dengan keseharian. Ketimpangan ini menjadi bukti kalau “kekuasaan” hanya digenggam oleh segelintir orang. Ketimpangan dan kekuasaan dalam wujudnya yang realistis, terlihat dalam 3 karya dokumenter yang menjadi nominasi MFW8 Best Short Documentary.

Realita dan Eskapisme yang Terbelit dalam Sidéral (2021)

Perempuan itu tidak menunjukkan senyumannya. Perempuan itu seperti tak lagi punya semangat untuk memancarkan cahaya dalam dirinya. Rutinitas yang harus ia lakukan sehari-hari untuk bertahan hidup seakan-akan merenggut jiwanya. Tampaknya hatinya sudah terlalu lelah, karena bumi yang dipijaknya dipenuhi duri. Meski dalam hari-harinya yang berat, perempuan itu masih merajut harapan untuk merasakan kehidupan di cakrawala lain.

God’s Daughter Dances (2020): Some Women Are Born In Their Bodies, Others Have to Fight For It

All men possessing Korean citizenship are required to serve in the military. In this context, Korean trans people must go through a phase of being recognized as women and it is not that easy. Being LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer) in Korea is often misconstrued as a mental disorder or a sin by the powerful conservative churches. Although since 2003 LGBTQ is no longer categorized as “harmful and obscene” in Korea, discrimination remains widespread.